skip to main |
skip to sidebar
Sosialisme atau Kapitalisme
Dalam paham sosialisme sejak semula terdapat sebuah kerancuan. Di satu pihak sosialisme merupakan sebuah cita-cita moral tinggi yang sifatnya mutlak, yaitu: cita-cita tentang pola perekonomian yang non-eksploitatif, yang tidak ditentukan oleh kerakusan individual, melainkan oleh keprihatinan bersama; tentang sebuah masyarakat berlandaskan kesetiakawanan sejati. Di lain pihak, cita-cita tersebut dikaitkan pada sebuah konsep perekonomian empiris tertentu.
Sosialisme adalah kepercayaan bahwa sumber ketidakadilan sosial terletak dalam hak milik pribadi produktif. Kombinasi dua unsur itu, cita-cita etis dan kepercayaan empiris ekonomis, menghasilkan utopi sosialisme, harapan akan masyarakat tanpa eksploitasi. Akan tetapi suatu gerakan yang mengkaitkan cita-cita mutlak pada sebuah politik empiris mudah menjadi ideologis.
Misi historis sosialisme yang sebenarnya tidak terletak dalam menggantikan sistem ekonomi pasar dengan sistem ekonomi berdasarkan penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Sosialisme dalam arti ini justru tidak berhasil. Misi historis sosialisme bukanlah perealisasian utopinya, melainkan bahwa utopinya menjadi motivator dan penggerak ampuh perjuangan kelas buruh.
Perjuangan itu mematri kaum buruh menjadi sebuah kelas yang sadar akan kekuatannya. Selama lebih seratus tahun kelas buruh memperjuangkan hak-haknya di bawah panji sosialisme. Mereka berhasil menjadi salah satu sokoguru masyarakat-masyarakat industri maju di Barat dan merebut kedudukan yang kuat. Justru karena keberhasilan perjuangan kaum buruh, sosialisme sebagai ideologi penghapusan hak milik pribadi kehilangan relevansinya.
Masalah fundamental Sosialisme
Ada masalah yang lebih fundamental. Cita-cita sosialisme tidak lepas dari egalitarisme: sebagai lawan liberalisme. Sosialisme, mengutamakan kesamaan.
Prioritas kesamaan terhadap kebebebasan menjadi dilema sosialisme. Sebaliknya, tidak percuma bahwa revolusi Perancis menyebutkan kebebasan sebelum kesamaan dan bahwa John Rawls dalam teori keadilannya yang termasyhur menegaskan bahwa keadilan hanya dapat tercapai apabila kebebasan diberi prioritas.
Kesamaan bukan konsep natural, melainkan moral. Sebab secara alami manusia tidak sama. Berbeda dalam kekuatan fisik, intelektual, psikis, moral. Karenanya kesamaan alami atau riil hanya dapat dicapai dengan membatasi kebebasan. Dalam masyarakat yang bebas, pembatasan kebebasan demi kesetiakawanan bersama merupakan keharusan etis dan sosial. Tak ada hak atas kebebasan tanpa batas.
Tetapi karena kebebasan didahulukan, pembatasan kebebasan sendiri tidak tanpa batas, melainkan hanya kalau pembatasan itu dapat dipertanggungjawabkan. Jadi kalau kebebasan diprioritaskan, kesamaan tetap dapat diusahakan, karena kebebasan yang diprioritaskan itu memang terbatas dan dapat dibatasi.
Tetapi sebaliknya, kalau kesamaan didahulukan, kebebasan harus dihapus karena kebebasan dengan sendirinya condong mengembangkan perbedaan-perbedaan natural. Prioritas kesamaan dengan sendirinya menghasilkan masyarakat yang tidak bebas. Secara sederhana: karena manusia secara alami tidak sama, kesamaan hanya dapat tercapai melalui paksaan.
Kesimpulan ini menunjukkan ironi mendalam usaha yang mau memprioritaskan kesamaan: apabila kesamaan didahulukan, kesamaan niscaya juga meniadakan dirinya sendiri, karena kesamaan hanya dapat dicapai melalui paksaan. Tetapi paksaan mengandaikan adanya kelas atau kelompok orang yang memaksa.
Maka mendahulukan kesamaan terhadap kebebasan dengan sendirinya akan menghasilkan sebuah masyarakat yang terbagi dua: masyarakat yang sama, dan sebuah elit di atasnya yang mengawasi serta memaksakan kesamaan itu.
Justru itulah yang terjadi dalam semua masyarakat sosialis. Selalu terbentuk sebuah elit yang bertuan di atas masyarakat biasa, dimana elit itu menikmati berbagai privilese dan keistimewaan yang tidak jarang melampaui apa yang dapat dinikmati oleh kebanyakan anggota kelas-kelas atas di negara-negara non-sosialis.
Maka tak satupun dari negara-negara yang mencoba merealisasikan sosialisme berhasil mewujudkan demokrasi nyata, tak satupun di mana orang kecil tidak diobyekkan secara lebih buruk daripada dalam kebanyakan masyarakat liberal.
Kapitalisme moderen
Jika liberalisme telah menghilang sebagai kekuatan politik tersendiri, karena pokok-pokok perjuangannya yaitu: negara konstitusional, pengakuan hak-hak asasi manusia, dan demokrasi representatif berhasil digolkan. Sebaliknya sosialisme justru tidak berhasil menggolkan ideologinya. Ia berada dalam krisis karena ideologinya semakin tidak relevan lagi. Dua-duanya memenuhi misi mereka, maka sebagai gerakan tersendiri tidak relevan lagi.
Kalau misi historis liberalisme politik adalah perealisasian cita-citanya dalam struktur masyarakat moderen, maka misi historis sosialisme bukan penciptaan masyarakat sosialis, melainkan pendobrakan pola masyarakat borjuis kapitalis eksploitatif eliter.
Akan tetapi tidak berarti bahwa sosialisme gagal seluruhnya. Yang gagal bukan cita-citanya untuk mewujudkan masyarakat yang tidak semata-mata dikuasai oleh kerakusan pemilik modal. Perjuangan di bawah panji-panji sosialisme berhasil membawa kelas buruh keluar dari ketergantungan dan penghisapan serta menancapkan dalam kesadaran moral politik masyarakat demokratis perwujudan kenegaraan wajib ditentukan oleh solidaritas.
Yang gagal adalah model perekonomian yang dipercayai sebagai jaminan satu-satunya pencapaian masyarakat non-eksploitatif itu: yaitu penghapusan milik pribadi atas alat-alat produksi. Lebih tepat lagi, yang gagal adalah ideologi sosialisme, bukan cita-cita etisnya. Hasil perjuangan sosialisme selama lebih seabad bukanlah negara sosialis, melainkan negara sosial. Sosialisme berhasil dimana ia tidak dicoba direalisasikan. Sosialisme justru berhasil karena ia membuat dirinya tidak diperlukan lagi.
Apakah lalu kita harus memilih kapitalisme, meskipun barangkali “dengan wajah yang manusiawi”. Pertanyaan tersebut tidak tepat. Karena mengandaikan bahwa semua jalan yang bukan sosialis, jadi yang mengakui inisiatif ekonomis masyarakat sendiri dan tidak mencoba mengabaikan mekanisme-mekanisme pasar, artinya mengakui menerima mekanisme pasar, adalah sama dengan kapitalisme.
Kapitalisme adalah struktur kekuasaan dimana pengambilan keputusan ekonomis secara eksklusif berada di tangan para pemilik modal dan diarahkan pada maksimalisasi untung, sedangkan negara tidak campur tangan di dalamnya.
Apakah kapitalisme murni pernah terlaksana atau tidak? Yang jelas selama 150 tahun perjuangan kaum buruh telah setapak-demi setapak menghasilkan secara reform perubahan-perubahan fundamental dalam struktur kekuasaan negara-negara industri maju.
Pertama: melalui serikat-serikat buruh, kaum buruh telah memperjuangkan kedudukan begitu kuat dalam proses produksi sehingga tidak mungkin lagi diambil keputusan ekonomis tanpa memperhitungkan mereka.
Kedua; tekanan kaum buruh menggantikan paham liberal dengan “negara sosial” yang semakin menjadi kenyataan di Eropa Barat. Negara sosial menyadari diri berkewajiban: membangun jaringan sosial yang melindungi segenap anggota masyarakat dari kemelaratan dan keterlantaran; menyediakan fasilitas-fasilitas umum seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan; melindungi kepentingan buruh dan kelompok-kelompok sosial lemah lainnya. Tugas itu dilaksanakan melalui perundangan sosial, perpajakan, tindakan moneter, pembatasan hak milik pribadi, investasi langsung, dan lain-lain.
Ketiga: negara sosial ditunjang oleh perwujudan demokrasi moderen yang secara nyata mengikutsertakan semua kelas sosial besar dalam penentuan kebijakan masyarakat sebagai keseluruhan.
Negara demokratis sosial ini secara struktural berbeda dari negara kapitalis, karena unsur pokok kapitalisme, eksklusivisme kekuasaan ekonomis di tangan para pemilik modal diatasi. Meskipun irama pasar tetap diikuti, tetapi term of trade pasar tidak ditentukan lagi secara sepihak oleh pemilik modal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar